Rabu, 02 Juni 2010

Badai duka dan Amanah

Oleh Wawan Suirwan, The Pancer
Di tepi laut aku berdiri sambil menatap indahnya ombak yang bergemuruh menghantam batu karang yang kuat tetapi batu karang tidak menangis melainkan diam seribu bahasa tanpa mau marah kepada ombak yang selalu menyerangnya bertubi tubi tanpa ampun walaupun nyawa melayang di gilas oleh Sang ombak, batu karang enggan bergerak maju, aku salut dengan ketangguhan batu karang namun aku juga merasa kasihan melihatnya karena batu karang terlalu sombong meremehkan ombak yang lemah dan sifatnya yang berapi-api ingin menguasai daratan sebagai tempat tinggal mereka, batu karang dan ombak bagaikan musuh abadi yang saban hari bertarung tanpa henti untuk mempertahankan ideologi, kekuasaan, dan kejayaan mereka tanpa memikirkan rakyat yang hidup di dalamnya, rakyat tak peduli dengan urusan mereka, rakyat hanya memikirkan yang penting bisa hidup dengan tenang. Aku berjalan menelusuri tepi laut dan aku melihat nelayan yang menjala ikan di tengah laut dengan suara dentuman yang keras seperti bazoka, ombak muntah ke atas bersama rakyat yang tidak berdosa, rumah mereka hancur berkeping-keping, banyak anak mereka menjadi yatim karena terkena dentuman bazoka, mayat-mayat terapung di lautan dengan di iringi lagu kebangsaan mereka yaitu desiran buih ombak mendayu-dayu dan nelayan pun merasa senang dengan nasib mereka lalu nelayan itu mengambil mayat yang terapung dan dibawa pulang ke negerinya untuk di jual atau di jadikan bahan pendamping sepiring nasi bersama keluarganya namun sebelum sampai ke daratan para nelayan tersebut di makan gelombang sebagai pembalasan atas kematian warganya, untungnya para nelayan itu bisa berenang menuju daratan dengan sekuat tenaga melawan dahsyatnya jurus tenaga dalam ombak, saat itu aku melihat seorang nelayan hampir kehabisan tenaga, aku tak tega melihat saudaraku di siksa oleh ombak dan menolong mereka meskipun aku tidak begitu pandai berenang juga menahan serangan ombak yang bertubi-tubi datang menyerang seakan-akan mereka menghalangi niat baikku dan aku sadar bahwa saudaraku yang salah karena saudaraku mengganggu dan menghancurkan rumah penduduk di negeri mereka dengan bom cap harimau lalu aku tidak melawan arus mereka namun aku mengikuti arah jurus-jurus mereka sehingga aku dapat menolong seorang saudaraku kemudian aku bawa saudaraku ke tepi pantai untuk diberi pertolongan agar dia selamat, aku tidak tahu dua saudaraku kemana perginya lalu aku menekan perut saudaraku untuk mengeluarkan air didalam perutnya kemudian saudaraku siuman dan ia kaget dan merasa heran ketika melihatku
“siapa engkau? wahai anak muda!”kata nelayan
“aku yang menyelamatkan ki sanak dari ganasnya ombak.” Pungkasku
“Lalu bagaimana nasib dengan kedua temanku?”
“aku tidak tahu dengan nasib kedua temanmu itu dan aku hanya bisa menolong dirimu seorang.” Jawabku
“anak muda nama kamu siapa?” tanya nelayan
“ aku seorang musafir.” Kilahku
“terima kasih anak muda atas pertolongannya, sungguh jika tidak ada engkau entah bagaimana nyawaku dan nasib keluargaku di rumah.” Sambil tersenyum
“ ya sama-sama ki sanak dan semua ini atas Kehendak Nya jadi bersyukurlah kepada Nya.” Jawabku
“ iya...ya benar juga katamu, selama ini aku lupa akan karunia Nya.”
“ sekarang ki sanak istirahat dulu di sini! biar aku yang mencari kedua teman ki sanak,” kataku, saat beberapa langkah aku pergi, datang kedua orang yang tidak aku kenal dan ternyata tidak lain adalah kedua teman orang yang aku tolong, kedua orang itu tampak sehat bugar, berwajah sangar dan tingkah lakunya begitu sombong
“ hai anak muda! dimana kau sembunyikan temanku?” tanya mereka lalu aku diam sejenak untuk berpikir dan hatiku berkata, “ sungguh mereka tidak punya sopan santun.”
“kenapa engkau diam saja? ayo jawab!”
“baiklah, ki sanak jangan marah seperti itu, teman ki sanak ada di belakang pohon kelapa itu dan dia hampir tenggelam.”
“ di mana tempatnya? Tunjukkan!”
“ mari ki sanak ikuti aku! apakah benar orang ini teman ki sanak?”
“ya...benar orang ini yang aku maksud!” pungkasnya, namun aku melihat temannya merasa ketakutan yang amat sangat pada dirinya.
“Tuan...tuan baik-baik saja?”
“ ya...aku baik-baik saja dan kamu senang jika aku mati lalu hutang kamu dan keluargamu lunas begitu saja!”
“ tuan jangan buruk sangka kepadaku, justru jika tuan mati aku bersedih dan bagaimana aku bisa menafkahi keluargaku?” sedangkan aku kurang mempunyai keahlian yang lain selain sebagai nelayan.”
“lalu kenapa engkau menolak menggunakan bom untuk mencari ikan di laut?”
“bukannya aku menolak tuan, tetapi istriku sedang hamil.”
“ apa hubungannya?”
“ aku takut terjadi apa-apa kepada si cabang bayi kelak.”
“ aaagghhh...alasan kuno! sekarang kamu siap-siap untuk pergi melaut lagi mencari ikan di laut!”
“tapi tuan aku masih lemas dan tuan masih punya banyak kapal serta cuaca hari ini tidak begitu baik!”
“kamu melawan aku?”
“ ti...ti...tidak tuan.”
“ ayo cepat jangan buang-buang waktu!”
“ ya..tuan tapi tunggu sebentar aku mau bicara dengan pemuda ini, bolehkan?”
“ya!”
“ anak muda tetaplah di sini menungguku pulang dan jika besok nanti aku tidak kembali pulang untuk selamanya, maka aku titipkan anak gadisku yang pertama untukmu, lunasi semua hutangku kepada para lintah darat dan jagalah istriku seperti ibu kandungmu!”
“ tapi ki sanak aku Cuma seorang musafir yang suka berkelana mengikuti angin dan bagaimana aku bisa membahagiakan anakmu dan istrimu?”
“ aku percaya kamu, anggaplah ini semua balas budi ku kepadamu dan aku tidak rela jika anak gadisku menikah dengan seorang lintah darat dan sekarang aku harus pergi!”
“ tunggu ki sanak...!”
“ aku yakin kamu orang yang cerdas, berhati mulia dan ingatlah anak muda rumahku sebelah timur dari tempat engkau berdiri dan cat rumahku berupa bilik bambu yang reyot bertuliskan “Sang Nelayan Timur” dan bawalah ikat kepalaku ini sebagai bukti!”
“ ki sanak...ki sanak jangan lupa berdoa dan tetap waspada!”
“ya! terima kasih sarannya!”
Tinggal aku sendiri di sini menanti esok Sang Fajar terbit kembali sambil berpikir kenapa masih ada orang yang seperti itu di dunia ini?” tidak mempunyai etika,moral dan berhati manusiawi hanya memikirkan harta dan kedudukan semata tanpa memikirkan keselamatan jiwa dirinya sendiri dan orang lain padahal cuaca hari ini kurang begitu bersahabat, awan mendung kelam disertai rintik hujan, sambaran petir, suara angin dan gelombang ombak laut yang besar datang silih berganti, aku berlari mencari tempat untuk berteduh dan akhirnya aku dapat tempat perlindungan di bawah tebing dengan alaskan bebatuan yang cukup besar namun aku tetap khawatir dengan nasib ketiga nelayan yang pergi untuk mencari ikan di dasar laut, di tengah pertarungan musuh abadi yaitu ombak yang rakus dan berapi-api serta batu karang yang kuat dan sombong, kecil kemungkinan mereka bisa selamat dari bencana badai laut, matahari terbenam malam telah tiba di iringi hembusan angin darat yang kurang bersahabat, aku jatuh bangun berpikir sampah yang penuh dengan limbah dunia ketamakan, kebencian, kedustaan dan kemunafikan, sudah sekian lama aku mengunggu dia namun sampai sekarang belum datang juga, “ya...tuhan aku mohon lindungi ketiga temanku dari segala mara bahaya,” aku tidak bisa tidur dengan tenang, aku masih terus memikirkan nasib ketiga temanku lalu aku putuskan malam ini aku tidak akan tidur sampai matahari terbit dan berjalan mengeliling tepi pantai sambil melihat deburan angin dan gelombang ombak bergemuruh di lautan, berharap aku dapat menemukan mereka baik dalam keadaan masih hidup atau sudah meninggal dunia, aku berjalan terus menyusuri tepi pantai tanpa terasa aku sudah jauh melangkah, rasa kantuk dan lelah mulai menyerang tubuhku lalu aku putuskan untuk menjauhi bibir pantai namun beberapa langkah aku berjalan, aku jatuh tersandung dan tidur beralaskan pasir, beratapkan langit dalam buaian mimpi yang indah, entah itu alam imajinasi atau kenyataan aku tidak tahu yang jelas di sana tempatnya indah, ditemani bidadari yang cantik jelita dan aku tidak ingin pergi dari tempat itu, aku terbuai oleh elus-elusan tangan yang lembut para bidadari namun aku merasa sedikit terganggu dengan suara berisik yang datang silih berganti lalu aku ingin marah dan aku terbangun dari pingsanku, aku melihat dihadapanku seorang gadis cantik yang tersenyum dan mengelus-elus pipiku.
“ aku di mana? aku di mana? dan sudah berapa hari aku pingsan?” tanyaku
“ kamu sekarang berada di rumahku, warga setempat yang membawa kamu ke sini dan hampir seharian kamu pingsan.” Kata dia
“ lalu bagaimana nasib dengan ketiga temanku? aku harus mencarinya!”
“ maksudmu ayahku, kakakku dan paman kentus?”
“ ya...mungkin, aku tidak tahu yang jelas salah seorang dari temanku mempunyai sifat yang tamak, keji dan sombong!” kemudian aku melihat gadis itu menangis tersendu-sendu
“hai...kenapa adinda menangis?” aku tidak mengerti atau ada ucapanku yang salah?”
“ tidak apa-apa, ucapanmu benar dan yang kau maksud adalah bapak dan kakakku, mereka telah tiada untuk selama-lamanya.”
“ adinda yang baik hati aku turut berduka cita dan aku meminta maaf atas semua ucapanku dan sungguh aku tidak tahu semua ini!”
“ya...aku mengerti dan teman yang engkau cari sudah pergi untuk selama-lamanya, mereka ditemukan oleh warga di tepi pantai tidak jauh dari tempat engkau pingsan.”
“ tapi sekarang aku harus pergi untuk menyampaikan amanah ini!” kamu tahu rumah “ Sang Nelayan Timur?” tolong antarkan aku ke sana!”
“ ya, aku tahu tetapi engkau masih perlu istirahat! bagaimana kalau besok?”
“ tidak, aku sudah sehat!”
“ baiklah, akan aku antar engkau ke sana tetapi ada syarat!”
“ apa syaratnya?”
“ rahasia!”
“ baiklah, aku menyanggupi apapun syaratnya!” lalu kami berdua berangkat pergi dan di dalam perjalanan kami saling bercanda gurau namun aku kaget ketika dia bilang, “ kakanda, maukah engkau menjadi pendampingku?” aku hanya bisa diam dan tidak terasa kami telah sampai ke rumah almarhum dan tidak aku duga suasananya sungguh menyenangkan, apalagi melihat dia sudah tidak sedih lagi dan akrab dengan keluarga almarhum, kami bicara ngalor ngidul kadang tawa pun menggelegar dan sampailah ke pokok pembicaraan
“ oh...ya bu le, ada yang ingin bertemu dengan ibu beserta keluarga yang lainnya!”
“ ada perlu apa dan siapa nama kamu?”
“sebelumnya saya turut berduka cita dan meminta maaf, nama saya rama serta saya datang ke sini untuk menyampaikan amanah almarhum yaitu untuk menjaga ibu dan almarhum mengamanahkan agar anak gadis yang pertama menikah dengan saya serta saya harus melunasi hutang keluarga ibu kepada lintah darat, apabila ibu kurang percaya, saya akan tunjukan ikat kepala almarhum sebagai bukti, “ ini buktinya!”
“ kapan kamu bertemu almarhum dan di mana kamu dapatkan ikat kepala ini?”
“ saya bertemu almarhum, saat itu saya jalan-jalan di tepi pantai lalu saya melihat suara dentuman bom meledak di tengah laut kemudian perahu itu terbalik di terjang ombak lalu saya menyelamatkan almarhum begitu juga dengan kedua orang tersebut berhasil menyelamatkan diri tetapi ketika almarhum sedang istiharat disuruh melaut lagi oleh kedua orang itu, padahal almarhum sudah memperingatkan tetapi di hiraukan oleh kedua tersebut dan sebelum almarhum pergi melaut, saya mendapatkan amanah dan menyampaikannya dengan bukti ikat kepala tersebut,” aku melihat wanita itu diam dan malu kepada keluarga almarhum dan aku merasa heran sebenarnya ada apa dengan mereka?”
“ ya sudah, ibu percaya dengan omongan kamu dan tuan putri tidak perlu merasa bersalah ataupun malu kepada keluarga kami!”
“ tidak bu le, semua ini salah bapakku dan aku meminta maaf atas perbuatan bapakku di masa hidupnya kepada keluarga ini!”
“ ya ibu maafkan tetapi ibu tidak bisa membayar hutang kepada tuan putri!”
“ bu le tidak punya hutang apapun kepada keluarga kami, aku ikhlas dan sekarang aku hidup sebatang kara!”
“ terima kasih, tuan putri tidak perlu bersedih karena masih ada kami keluargamu dan anak muda saya terima kamu menjadi bagian keluarga ini dan jemputlah calon istrimu ke sini!”
“ baiklah ibu,” tetapi aku melihat gadis itu kaget ketika dia mendengar bahwa aku direstui menikah dengan anak gadisnya yang begitu cantik dan aku melihat ibu memahami perasaan anak angkatnya itu jatuh cinta kepadaku, di saat seperti ini aku merasa bingung bagaimana nantinya tetapi agghhh...masa bodoh jalani apa adanya!”
“ rama!”
“ ya bu!”
“ kemarilah! acara pernikahanmu minggu depan dan ibu juga akan menikahkan engkau dengan anak angkat ibu ini, kamu mau tuan putri?”
“ ya saya mau tetapi itu terserah mereka berdua!”
“ tuan putri tidak perlu khawatir aku mau berbagi suami dengan dirimu dan Mas Rama juga pasti mau, iya...kan!”
“i...i...iya mau! aku sungguh tidak percaya dengan semua ini, aku tidak menduga bahwa aku punya dua istri sekaligus.”
“mas rama...mas rama kenapa diam?”
“ tidak apa-apa, kemarilah adinda!” peluk daku!” kelak jika kalian menjadi istriku maka kalian mau berbagi kesusahan, senang, duka dan saling percaya satu dengan yang lainnya?”
Mereka menjawab. “ya kami bersedia!”
“Perasaan bingung bercampur bahagia menghantui diriku, apa yang harus lakukan untuk membahagiakan mereka? Sedangkan aku keluar dari pekerjaan yang dulu hingga saat ini aku juga belum mempunyai pekerjaan di sisi lain luka sakit hatiku kepada kekasih yang dulu sudah terobati dengan kehadiran dua bidadari yang cantik jelita.”
“ kelihatannya kanda bingung, ada apa?”
“ tidak ada apa-apa, kanda hanya bingung bagaimana cara menghidupi kalian sedangkan kanda sendiri tidak punya pekerjaan, kanda malu!”
“kanda tidak perlu malu ataupun minder, jodoh, rezeki, dan mati sudah ada yang mengatur,” pungkasnya
“ iya benar, kanda tidak perlu khawatir, apabila kanda tidak punya pekerjaan kelola-lah usaha milik keluarga kami dan itu semua sudah menjadi milik kanda juga!”
“ tapi putri...itu...kan!”
“ itu apa kanda?” dinda putri dan kanda dewi setuju kanda yang mengelola perusahaan kami.”
“Terima kasih atas semangat dan kepercayaannya,” aku merasa senang melihat mereka rukun, saling mendukung, saling menyayangi dan saling percaya serta aku sangat bersyukur sekali atas Karunia Nya dan Tuhan itu Maha Adil, untung aku urungkan niatku untuk mengakhiri hidup dan aku sadar bahwa selain keluarga, harta yang paling berharga adalah nyawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar